Pimred Cyber Jabar Angkat Bicara, Soal Penolakan RUU Penyiaran Yang Dibahas DPR
CIANJUR | Para jurnalis dari IJTI, PWI serta media di Cianjur lakukan unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kabupaten Cianjur. Unras tersebut dilakukan untuk menolak RUU Penyiaran yang dinilai mengancam kebebasan pers di Tanah Air juga merupakan simbol mundurnya demokrasi di Indonesia.
Pimred cyber jabar.id Yudi Akbar menilai, bahwa RUU Penyiaran 2024 yang merupakan revisi dari Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang saat ini dibahas di DPR dinilai mengandung beberapa pasal kontroversial. Pasal-pasal tersebut berpotensi mengancam kebebasan pers serta independensi media di Indonesia.
"RUU ini jelas membungkam independensi dalam melaksanakan kerja-kerja jurnalis," tegas yudi ak bar, Selasa (22/5/2024).
Berikut ini sejumlah pasal : kontroversial:Dalam Pasal 8A ayat (1) ini disebutkan bahwa ada 17 wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat. Salah satunya yang tercantum dalam huruf q adalah “menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran”.
Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers, dimana fungsi tersebut harusnya ada di Dewan Pers bukan di KPI.
Padahal dalam undang-undang Pers disebutkan di Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers menyatakan, Dewan Pers salah satunya berfungsi “Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”.
Dalam Pasal 28A ayat (1) melarang Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) menyalurkan isi siaran dengan kriteria tertentu. Siaran yang dilarang yakni berisikan sebagai berikut:
a. Menyalurkan isi siaran yang membahayakan kepentingan bangsa dan negara serta mengancam pertahanan dan keamanan nasional.
b. Menyiarkan dan/atau menyalurkan isi siaran yang bertentangan dengan nilai kesusilaan.
c. Menyiarkan dan/atau menyalurkan isi siaran yang terindikasi mengandung unsur pornografi, sadistis, serta mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
d. Menayangkan isi siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender.
Sementara ayat (2) menyatakan LPB yang melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi administratif oleh KPI berupa teguran tertulis, denda, penghentian sementara isi siaran bermasalahbatau penghentian siaran.
Ayat (3) mengatur LPB melengkapi pelanggan dengan peralatan yang memungkinkan pelanggan untuk menutup kanal yang tidak diinginkan.
Pasal 34F ayat (2) huruf e mengatur penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lain wajib memverifikasi konten siarannya ke KPI sesuai Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).
Atas hal tersebut Yudi menjelaskan bahwa penyelenggara penyiaran yang dimaksud dalam pasal ini termasuk kreator yang menyiarkan konten lewat Youtube, TikTok, atau media berbasis user generated content (UGC) lainnya.
Pasal ini kata dia bertabrakan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur platform berbasis UGC.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 juga mengatur konten-konten yang didistribusikan melalui platform UGC.
Pasal 42 ayat (1) mengatur “muatan jurnalistik dalam isi siaran lembaga penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Namun, ayat (2) mengatur “menyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Masih ucapnya, Yudi Akbar menilai bahwa pasal ini berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik terkait informasi, seperti di Pasal 50B ayat (2) huruf C memuat aturan Standar Isi Siaran (SIS) melarang “penayangan eksklusif jurnalistik investigasi” dalam panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran.
Pelarangan ini jelas mengancam terhadap kemerdekaan pers dan sudah bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran seperti Pasal 50B ayat (2) huruf K memuat SIS yang melarang “penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme”.
' Kita menilai pasal ini subyektif dan multitafsir, terutama perihal penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal ini berpotensi menjadi alat membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis dan pers," (red)